[ad_1]
Dikeluarkan pada:
Kepala polisi dan setidaknya delapan petugas lainnya di kota Malang Indonesia, di mana penyerbuan di stadion sepak bola menyebabkan 125 orang tewas, telah diskors, kata juru bicara kepolisian nasional Senin.
“Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan… malam ini Kapolri telah mengambil keputusan untuk memberhentikan Kapolres Malang Ferli Hidayat dari jabatannya dan menggantikannya,” kata Juru Bicara Polri Dedi Prasetyo dalam konferensi pers yang disiarkan televisi.
Delapan petugas polisi setempat lainnya juga diskors, kata Prasetyo, seraya menambahkan bahwa 28 petugas telah diperiksa.
Tekanan telah meningkat pada polisi atas manajemen kerumunan mereka selama bencana stadion Kanjuruhan hari Sabtu, ketika petugas menembakkan gas air mata di stadion yang penuh sesak untuk memadamkan invasi lapangan, memicu penyerbuan.
Presiden Indonesia Joko Widodo telah memerintahkan kompensasi untuk keluarga dari 125 korban, kata seorang menteri Indonesia pada hari Senin.
“Sebagai tanda belasungkawa, presiden akan menyumbangkan 50 juta rupiah ($ 3.200) untuk setiap korban yang meninggal,” kata Menteri Keamanan Mahfud MD dalam konferensi pers, seraya menambahkan uang itu akan diberikan dalam satu atau dua hari.
Lusinan anak yang terjebak dalam kekacauan kehilangan nyawa mereka dalam tragedi itu, menurut seorang pejabat di kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
“Dari data terakhir yang kami terima, dari 125 orang yang meninggal dalam kecelakaan itu, 32 di antaranya adalah anak-anak, dengan yang termuda adalah balita berusia tiga atau empat tahun,” kata Nahar, yang seperti kebanyakan orang Indonesia hanya menyebut satu nama.
‘Kami ingin keadilan’
Tragedi itu terkuak ketika suporter tim tuan rumah Arema FC menyerbu lapangan di stadion Kanjuruhan setelah kalah 3-2 dari rival sengit Persebaya Surabaya.
Polisi menanggapi dengan meluncurkan gas air mata ke teras yang penuh sesak, mendorong penonton untuk bergegas secara massal ke gerbang kecil di mana banyak yang terinjak-injak atau tercekik, menurut saksi mata.
“Rasanya seperti orang dimasukkan ke dalam tabung kecil dengan lubang kecil, dan kemudian mereka dihisap,” kata penonton Ahmad Rizal Habibi, 29 tahun, yang melarikan diri sebelum tumbukan.
Polisi menggambarkan insiden itu sebagai kerusuhan dan mengatakan dua petugas tewas, tetapi korban yang selamat menuduh mereka bereaksi berlebihan dan menyebabkan kematian sejumlah penonton.
“Salah satu pesan kami adalah agar pihak berwenang menyelidiki ini secara menyeluruh. Dan kami ingin pertanggungjawaban. Siapa yang harus disalahkan?” kata Andika, warga Malang, 25 tahun, yang menolak menyebutkan nama belakangnya.
“Kami menginginkan keadilan bagi pendukung kami yang gugur.”
Seorang saksi di luar stadion mengatakan polisi menolak untuk membantu ketika pertikaian itu terjadi.
“Tempat itu tampak seperti kuburan massal. Perempuan dan anak-anak bertumpuk satu sama lain,” kata Eko Prianto, 39, kepada AFP.
“Saya lari ke polisi atau tentara untuk membantu. Tidak ada petugas medis yang terlihat. Polisi tidak membantu dan tentara itu mengancam akan memukuli saya.”
Kekerasan dan hooliganisme telah lama menjadi ciri sepak bola Indonesia, terutama di tempat-tempat seperti Jakarta, ibu kota, tetapi skala bencana hari Sabtu telah mengejutkan bangsa.
FIFA, yang menyebut insiden itu sebagai “hari gelap bagi semua yang terlibat dalam sepak bola dan tragedi di luar pemahaman”, telah meminta otoritas sepak bola Indonesia untuk melaporkan insiden tersebut.
(FRANCE 24 dengan AFP dan Reuters)
[ad_2]
Source link