Media Internasional.com –– Agusrin Mantan Gubernur Bengkulu DPO, Karena Kotak Pandora. Benarkah?
Siapa sebenarnya Agusrin—pemain, penghubung, atau korban dari permainan yang lebih besar?
Mantan Gubernur Bengkulu itu kini berstatus buron. Tapi sebelum polisi menempelkan namanya di Daftar Pencarian Orang (DPO), ia sudah lebih dulu menempel di jaringan kekuasaan yang tak pernah sepenuhnya terlihat.
Selama bertahun-tahun, Agusrin Najamidin tak hadir dalam arena publik, tapi selalu hadir dalam percakapan para aktor politik: lobi-lobi gelap, ruang sekretaris jenderal partai, dan sudut-sudut hotel tempat deal dibuat tanpa tanda tangan.
Seorang mantan pejabat yang pernah bersinggungan dengannya menyebut: “Dia bukan pemain depan layar. Dia remote control.”
PERAN SENYAP: OPERATOR TANPA NAMA DALAM NARASI BESAR
Nama Agusrin Najamudin mencuat selepas Majalah Matra menyinggung seorang operator berinisial “AGS”—sosok yang disebut menyimpan dokumen, rekaman percakapan, dan bargaining chip yang bisa menjatuhkan karier siapa pun.
Istilah yang sering muncul adalah: “Pecah di perut, bukan pecah di mulut.”
Maksudnya: informasi dikumpulkan, bukan dibocorkan.
Sumber Majalah MATRA di lingkaran politik Senayan menggambarkannya lebih ekstrem: “Kalau ada tokoh yang perlu dibungkam atau kelompok yang perlu didamaikan, Agusrin biasanya muncul. Dia seperti pisau yang tak nampak, tapi bekasnya terasa.”
Rumor-rumor yang berkembang menautkan dirinya ke jaringan intelijen asing—termasuk CIA—walau ia membantah. Namun dalam politik Indonesia, bantahan justru sering menguatkan cerita.
BAYANGAN DI BALIK PUTUSAN MK
Nama Agusrin Najamudin kembali menguat ketika Mahkamah Konstitusi mengubah aturan usia kandidat presiden dan wakil presiden—putusan yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka.
Publik dan netizen sempat menuding Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, sebagai perantara. Tapi menurut dua sumber terverifikasi Majalah MATRA dalam investigasnya, yang disebut mengatur jalur komunikasi rahasia lintas kamar justru Agusrin Najamidin. Eng-ing-eng.
Operasinya digambarkan memiliki dua jalur:
Jalur Isi Operasi: Pertama di Formal Argumentasi hukum disiapkan tim pemohon. Yang kedua, informal Lobi hakim, komunikasi politik, dan pressure line ke pemegang kekuasaan.
Seorang pejabat partai yang terlibat dalam proses itu berkata: “Dia datang bukan membawa argumentasi hukum — dia membawa konsekuensi politik.”
Jika informasi itu akurat, maka Agusrin Najamudin — dalam laporan investigasi majalah MATRA — bukan sekadar operator. Ia menjadi “konduktor” dari salah satu operasi politik paling menentukan dalam satu dekade terakhir.
Siapa sangka, tatkala pada 14 Oktober 2025, Polda Metro Jaya resmi mencatat namanya sebagai DPO.
Sumber di Polda menyebut ada alasan pragmatis: “Berkas sudah lengkap, tapi tersangka menghilang.”
Kasusnya bukan soal politik—setidaknya di permukaan. Ini soal bisnis kayu, izin HPH, dan cek senilai miliaran yang kosong.
Kronologinya dimulai 2017, ketika PT TAC bersepakat dengan PT API milik Agusrin untuk memakai izin HPH. Hubungan bisnis itu tumbuh menjadi badan usaha baru: PT Citra Karya Inspirasi (CKI).
Pada 2019, Agusrin menawarkan penjualan izin HPH tersebut. Harga disepakati: Rp33,3 miliar.
Untuk “komitmen,” diberikan dua transaksi awal senilai Rp7,2 miliar—lalu dua lembar cek:
Rp10,5 miliar
Rp20 miliar
Keduanya kosong.
PT TAC kemudian melapor. Tuduhannya: penipuan, penggelapan, hingga pencucian uang.
SESUATU YANG TAK LAZIM
Banyak pihak heran: Bagaimana seseorang yang disebut punya akses ke hakim, menteri, bahkan intelijen asing terjerat kasus bisnis kelas menengah?
Seorang analis politik menawarkan pembacaan berbeda: “Jarang sekali orang seperti dia jatuh karena kasus kecil. Biasanya, kasus kecil adalah pintu untuk membuka kasus yang lebih besar.”
Pertanyaan yang lebih nyaring kini beredar di banyak meja: Apakah ini benar soal cek kosong—atau seseorang sedang menutup babak lama dari permainan kekuasaan pasca 2024?
AKHIR YANG MASIH TERBUKA
Dalam hampir setiap cerita tentang Agusrin, selalu ada dua versi: versi resmi yang dingin, birokratis, dan penuh pasal;
dan versi bawah tanah yang berisi rumor, peran rahasia, dan transaksi tak tertulis.
Kini, lelaki yang selama ini “bergerak” seperti bayangan tiba-tiba menjadi objek sorot lampu negara.
Di dunia intelijen dan lobi politik, ada pepatah: “Orang yang terlalu lama di belakang layar akhirnya dipaksa tampil.”
Dan ketika ia muncul bukan sebagai aktor, tapi sebagai buronan — pertanyaan yang tertinggal justru lebih banyak daripada jawaban.
Siapa sebenarnya Agusrin—pemain, penghubung, atau korban dari permainan yang lebih besar?
