Media Internasional.com — Tiga Poin Kunci Kontroversi Bank Centris: Audit BPK, Penetapan Utang, dan Putusan MA Misterius
Kasus Bank Centris kembali menjadi sorotan publik setelah terungkap sejumlah temuan yang dinilai janggal terkait audit, penetapan utang negara, dan putusan pengadilan yang dipertanyakan keabsahannya. Tiga poin utama berikut menjadi sorotan:
1. Dugaan “Bank di Dalam Bank” di Bank Indonesia
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Centris International Bank dengan nomor rekening 523.551.000 tahun 2000—yang diajukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)—mengungkap fakta mengejutkan.
Bank Indonesia (BI) tidak pernah membayarkan dana sesuai Akta 46 ke rekening resmi 523.551.0016 milik Bank Centris Internasional.
Sebaliknya, BI justru mengkreditkan dana tersebut ke rekening lain atas nama Centris International Bank dengan nomor 523.551.000.
Praktik ini diduga menjadi indikasi adanya “bank di dalam bank” yang berpotensi melanggar sistem keuangan nasional.
2. Penetapan Utang yang Salah Sasaran
Audit BPK terkait Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) tahun 2006 No. 34 justru menjadi dasar bagi Kementerian Keuangan pada 2012 (Surat No. 589) untuk menetapkan Andri Tedjadharma dan Bank Centris Internasional sebagai penanggung utang negara senilai Rp897 miliar.
Padahal, hasil audit BPK tidak pernah menyebut nama Andri Tedjadharma maupun rekening resmi Bank Centris 523.551.0016 dalam daftar PKPS.
Kesalahan fatal ini memunculkan Surat Keputusan (SK) 49 dan surat paksa No. 216 tahun 2021, yang dinilai cacat hukum dan administratif.
3. Putusan MA No. 1688 yang Tidak Terdaftar
Kontroversi semakin memanas ketika salinan putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1688 ditemukan tidak terdaftar di MA berdasarkan tiga surat resmi, terakhir tertanggal 10 Mei 2023.
Selain itu, mantan Ketua MA Bagir Manan telah memberikan pernyataan notarial bahwa dokumen tersebut “bukan keputusan saya”, dan mendiang Artidjo Alkostar, yang dikenal teliti, disebut mustahil membuat keputusan dengan banyak kejanggalan.
Fakta ini menambah daftar panjang pertanyaan atas legalitas proses hukum yang berjalan selama lebih dari dua dekade.
Kasus ini mengindikasikan potensi penyalahgunaan UU No. 49 Prp Tahun 1960 (UU PUPN) yang memberikan kewenangan absolut dan sulit dilawan.
Masyarakat mendesak Mahkamah Konstitusi sebagai benteng terakhir keadilan untuk menguji ulang dasar hukum dan fakta terkait Bank Centris, agar tidak memicu krisis kepercayaan dan ancaman terhadap stabilitas ekonomi nasional.
#Bank di Dalam Bank, Kesalahan Fatal Penetapan Utang, dan Putusan MA yang Misterius: Mengapa MK Harus Bertindak?
1. Audit BPK Membongkar “Bank di Dalam Bank”
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Centris International Bank (Nomor 523.551.000) pada tahun 2000, yang diajukan oleh BPPN di Jakarta Selatan, menemukan kejanggalan serius.
Berdasarkan akta 46, sejumlah dana seharusnya dikreditkan ke rekening Bank Centris Internasional dengan nomor 523.551.0016. Namun, Bank Indonesia justru mengkreditkan dana tersebut ke rekening berbeda, yakni 523.551.000.
Temuan ini menunjukkan adanya indikasi “bank di dalam bank” di tubuh Bank Indonesia, sebuah praktik yang berpotensi merugikan dan menimbulkan persoalan hukum besar.
2. Penetapan Utang Berdasarkan Audit yang Keliru
Audit BPK terhadap BPPN terkait Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) tahun 2006 Nomor 34 dijadikan dasar penetapan utang kepada negara atas nama Centris dan Andri Tedjadharma sebesar Rp897 miliar.
Penetapan ini kemudian dituangkan dalam surat Kementerian Keuangan Nomor 589 tahun 2012 dan melahirkan SK 49 serta surat paksa Nomor 216 tahun 2021.
Padahal, dalam audit BPK PKPS 2006 tersebut tidak ada satu kata pun yang menyebut Andri Tedjadharma maupun rekening Bank Centris Internasional Nomor 523.551.0016 sebagai penanggung utang. Kesalahan fatal ini memunculkan dugaan kuat adanya kekeliruan sistemik dalam penetapan piutang negara.
3. Putusan MA Nomor 1688 yang Tidak Terdaftar
Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688 menjadi sorotan karena tidak terdaftar di MA berdasarkan surat resmi dari lembaga tersebut, termasuk tiga surat yang menegaskan bahwa tidak pernah ada permohonan kasasi dari BPPN, terakhir pada 10 Mei 2023.
Selain itu, prosedur dan relaas dari PN Jakarta Selatan yang memakan waktu 20 tahun dinilai tidak lazim. Bagir Manan, mantan Ketua MA yang disebut sebagai ketua majelis perkara tersebut, melalui pernyataan notarial menyatakan bahwa “itu bukan keputusan saya”, sementara hakim Artidjo Alkostar yang terkenal teliti diyakini tidak mungkin membuat putusan serupa.
Saatnya MK Bertindak
Sejak 1998, Bank Centris Internasional Nomor 523.551.0016 tidak pernah menerima bukti pembayaran ataupun rekening koran dari Bank Indonesia, padahal inilah dasar utama untuk menetapkan adanya utang atau piutang.
Bahkan, bank tersebut masih dioperasikan oknum tertentu hingga 2004 meskipun telah resmi dibekukan sejak 4 April 1998, dengan kantor dipindah ke Upindo dan statusnya naik menjadi Bank Devisa, sementara kantor resmi berada di Plaza Centris Kuningan Jakarta.
Kejadian-kejadian ini menunjukkan bagaimana UU PUPN (Perpu 49/1960) dapat berpotensi menzalimi masyarakat karena bersifat absolut dan sulit dilawan. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) harus menjadi benteng terakhir untuk memeriksa dan memperbaiki keadaan krusial ini sebelum berimplikasi pada krisis ekonomi yang lebih luas.
















